Selamat Datang di Media Online KUA Kecamatan Mandalawangi Kab. Pandeglang - Banten "Terimakasih Sudah Tidak Memberikan Imbalan Atas Pelayanan Yang Kami Berikan"
PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM
Oleh: Khoirul Anwar, S.HI, M.Sy.


PENDAHULUAN
Sehubungan dengan sahnya perkawinan, selain harus memenuhi syarat-syarat dan rukun perkawinan, perlu diperhatikan juga ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam. Apabila di kemudian hari ditemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan ikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.

PENGERTIAN PEMBATALAN PERKAWINAN
Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.[1] Secara definitif, sulit untuk memberikan rumusan tentang pembatalan perkawinan, namun untuk sekedar memberikan batasan agar dipahami apa yang dimaksud pembatalan perkawinan tersebut, maka pembatalan perkawinan diartikan sebagai suatu tindakan guna memperoleh keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan batal.

PENYEBAB PEMBATALAN PEKAWINAN
Fasakh disebabkan oleh dua hal:[2]
1.    Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan perkawinan.
2.    Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.

Beberapa faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan atau fasakh tersebut, ialah:[3]
1.    Syiqaq
Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus. Ketentuan tentang syiqaq ini terdapat dalam QS: an-Nisa ayat 35.
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا 
Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sungguh, Allah Maha mengetahui, Mahateliti.[4]

2.    Adanya cacat
Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau cacat rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi akad perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah suami isteri bergaul atau belum.

3.    Ketidakmampuan suami memberi nafkah
Pengertian nafkah di sini berupa nafkah lahir atau nafkah batin, karena keduanya menyebabkan penderitaan di pihak isteri.

4.    Suami gaib (al-mafqud)
            Maksud gaib di sini adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak diketahui ke mana perginya dan di mana keberadaannya dalam waktu yang lama.

5.    Dilanggarnya perjanjian dalam perkawinan 
            Sebelum akad nikah suami dan isteri dapat membuat perjanjian perkawinan. Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan tersebut dapat menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan.

PEMBATALAN PERKAWINAN PERSPEKTIF EMPAT MAZHAB
Sedangkan persyaratan yang mengatur pembatalan perkawinan diberikan secara rinci oleh para ulama dari keempat mazhab seperti tersebut di bawah ini:[5]

Menurut Mazhab Hanafi, kasus- kasus di bawah ini adalah fasakh:
1.      Pisah karena suami isteri murtad
2.      Perceraian karena perkawinan itu fasad (rusak)
3.      Perpisahan karena tidak seimbangnya status (kufu) atau suami tidak dapat dipertemukan.

Sedang fasakh menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali:
1.         Pisah karena cacat salah seorang suami istri
2.         Perceraian karena berbagai kesulitan (I’sar) suami
3.         Pisah karena li’an
4.         Salah seorang suami isteri itu murtad
5.         Perkawinan itu rusak (fasad)
6.         Tidak ada kesamaam status (kufu)

Adapun perkawinan itu menjadi fasakh berdasarkan Mazhab Maliki dalam status di bawah ini:
1.      Terjadinya li’an
2.      Fasadnya perkawinan
3.      Salah seorang pasangan itu murtad

Apabila terjadi pembatalan perkawinan, baik dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum perkawinan, atau terdapatnya halangan yang tidak memungkinkan dilanjutkannya perkawinan, maka terjadilah akibat hukum berupa tidak diperbolehkannya suami rujuk kepada mantan isterinya selama isteri itu menjalani masa iddah. Akan tetapi apabila keduanya berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya, mereka harus melakukan akad nikah baru. Akibat lainnya ialah pembatalan perkawinan tersebut tidak mengurangi bilangan thalaq.[6]





[1] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), p.85.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), p. 253
[3] Ibid, p. 245-252
[4] Depag RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Depok: Al-Huda, 2005), p.84.
[5] A. Rahman I Doi, Syariah I Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), p. 309-310
[6] Syarifuddin, Loc.Cit.