Selamat Datang di Media Online KUA Kecamatan Mandalawangi Kab. Pandeglang - Banten "Terimakasih Sudah Tidak Memberikan Imbalan Atas Pelayanan Yang Kami Berikan"
PENISTAAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA
Oleh: Khoirul Anwar, S.HI, M.Sy.


Penghargaan bangsa ini terhadap agama sangatlah besar, sebesar penghargaan umat Islam dan para pendiri bangsa ini terhadap agama. Dari segi filosofis berdirinya negara ini, maka jelas dari sila pertama dalam Pancasila berbicara tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya adalah, bangsa ini haruslah berdasar kepada orang-orang yang beragama.

Secara konstitusional Pasal 29 ayat 1 dan 2 Negara menjamin setiap warga negara bisa melaksanakan agama dan beribadah sesuai agamanya masing-masing. Secara filosofis dan konstitusi sudah jelas bahwa Negara menjamin setiap warga Negara bisa melaksanakan agama dan beribadah sesuai agamanya masing-masing. Jadi secara jelas disebutkan dalam perspektif hukum konstitusional.

Kasus penghinaan agama di Indonesia masih mengacu kepada instrumen Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan / atau Penodaan Agama. Ketentuan  ini lebih dikenal dengan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU ini sangat singkat isinya, karena hanya berisi 5 pasal.

Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyatakan:

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 ini menyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Namun, ini tidak berarti agama-agama lain seperti Yahudi, Zarazustrian, Shinto dan Thaoism dilarang di Indonesia. Agama-agama ini tetap dijamin keberadaannya sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bila ada orang yang melanggar aturan ini maka akan diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Bila yang melanggar adalah organisasi atau aliran kepercayaan maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan atau menyatakan aliran terlarang organisasi atau aliran itu setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Apabila, setelah tindakan di atas telah dilakukan, tetapi masih terjadi pelanggaran ketentuan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 itu maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.

Selain itu, UU 1/PNPS/1965 dalam Pasal 4, juga memasukan pasal baru ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni, Pasal 156a yang berbunyi:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
       a.       Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama         yang dianut di Indonesia;
       b.      Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan                    Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Namun, dalam penggunaan Pasal 156a KUHP tetaplah tidak bisa dilakukan secara langsung, namun harus dilakukan melalui beragam tindakan administratif terlebih dahulu. Pasal 156a KUHP ini baru bisa efektif dilaksanakan, setelah ada pembahasan di forum Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (BAKOR PAKEM). Forum ini terdiri dari Kementerian Agama, Kejaksaan, Kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN) serta tokoh masyarakat yang menetapkan suatu aliran dinyatakan sesat.


Setelah dilarang dan dinyatakan sesat, tetapi aliran itu masih menjalankannya  maka Pasal 156a KUHP sudah bisa digunakan. Apabila belum masuk ke forum BAKOR PAKEM dan prosedur tersebut belum dijalankan, maka belum bisa masuk ke Pasal Penodaan Agama ini. [KA]